4 Fakta Saat Ini tentang Lumpur Lapindo
  09 Juli 2020
4 Fakta Saat Ini tentang Lumpur Lapindo
Lumpur Sidoarjo. Kredit Foto: National Geographic.

Bencana lumpur Lapindo pertama kali bermula pada Mei 2006. 16 desa dan 3 Kecamatan di Sidoarjo tergenang lumpur panas. Lebih dari 25 ribu warga Sidoarjo harus mengungsi. 10.426 unit rumah warga, dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.

Sektor mata pencaharian warga seperti ratusan hektar pertanian, persawahan, dan ribuan ekor hewan ternak, dan 30 Pabrik yang berada di sekitar area semburan lumpur harus berhenti beroperasi, 1873 orang harus kehilangan pekerjaan di pabrik – pabrik yang ada. Dampak dari peristiwa lumpur Lapindo secara langsung juga turut berpengaruh kepada sektor perekonomian.

Berdasarkan penelitian yang dikeluarkan oleh Jurnal Ekonomi Pembangunan dari Universitas Trunojoyo (2010), pekerjaan masyarakat Sidoarjo sebelum peristiwa lumpur Lapindo, didominasi di ekonomi sekunder yakni pekerjaan pabrik yang berjumlah 53,72 % dari total mata pencaharian masyarakat Sidoarjo.

Di sektor ekonomi lainnya yakni sektor tertier / jasa berjumlah 40.71 %, dan sektor primer (pertanian) sebesar 5,57%, dan mata pencaharian dari masyarakat Sidoarjo, harus terhenti dengan adanya peristiwa lumpur Lapindo.

1. Anggaran Pemerintah

Menilik kembali 14 Tahun terjadinya peristiwa Lumpur Lapindo, pemerintah pusat telah mengeluarkan dana APBN sebesar Rp 11,27 triliun sejak tahun 2006 untuk penanggulangan bencana lumpur Lapindo.

Rincian dari pembayaran ganti rugi ini sendiri LBI (Lapindo Brantas INC) diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 3.81 triliun kepada korban yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT), sedangkan untuk korban lumpur yang berada di luar PAT, ganti rugi dibebankan kepada pemerintah dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Apabila membandingkan jumlah pengeluaran dana, maka dapat dilihat bahwa pemerintah relatif lebih banyak mengeluarkan biaya ganti rugi apabila dibandingkan dengan PT Lapindo itu sendiri.

2. Lapindo Masih Berhutang

Bulan Juli 2019 menjadi bulan jatuh temponya permasalahan ganti rugi peristiwa Lumpur Lapindo. Pemerintah pusat dalam peristiwa ini, telah menalangi perusahaan Lapindo hingga Rp. 773, 38 miliar, dalam janji surat hutang yang diteken pada 11 Juli 2015.

Adapun dari PT Lapindo sendiri baru melunasi sebesar Rp 5 Miliar saja, selama empat tahun perjanjian utang ini. Konsekuensi apabila hutang tidak terlunasi adalah pengenaan denda sebesar 2 persen per bulannya. Apabila dalam dua tahun penagihan hutang belum lunas, maka pemerintah dapat melakukan eksekusi terhadap tanah dan bangunan yang dijaminkan oleh Minarak Lapindo Jaya, dan Lapindo Brantas INC.

Nasib dari sejumlah korban lumpur panas masih terkatung–katung, walaupun dalam 14 tahun belakangan telah berkali–kali mengadu dan menuntut pemerintah memberikan talangan pembayaran ganti rugi melalui APBN. PT Lapindo juga tersengal – sengal untuk membayar tagihan hutang oleh pemerintah, total pembayaran yang baru dibayarkan oleh PT Lapindo baru mencapai 5 miliar.

Klaim PT Lapindo menyebutkan bahwa wilayah ini cukup jauh dari kawasan Porong, sehingga cukup aman untuk dilakukan pengeboran. Namun trauma mendalam dari masyarakat yang jelas akan menolak, dan masih belum selesainya permasalahan ganti rugi, dan dampak lingkungan-sosial kawasan Sidoarjo, menyebabkan upaya pengeboran ini tidak dilanjutkan.

Rencana pemerintah sendiri akan kembali mengucurkan dana talangan sebesar 380 miliar pada 2020, saat tahun 2019 ini pemerintah telah mengeluarkan dana talangan sebesar 827 miliar. Dana yang digunakan pada tahun 2020 direncanakan untuk mengalirkan lumpur 40 juta meter kubik, dan membangun tanggul setinggi 2 km.

Pengeluaran dana yang terus menerus menunjukkan bahwa masih belum ditemukkannya solusi dari permasalahan lumpur Lapindo ini sendiri. Ketidaktegasan dari pemerintah yang memperbolehkan ekspansi dari PT Lapindo, dan dalih dari perusahaan ini yang terus menerus meminta talangan menjadi permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah.

Pengawasan terhadap pemberian ganti rugi yang pantas bagi korban untuk saat ini menjadi prioritas utama. Pelakasaan serangkaian rencana untuk memberdayakan korban lumpur yang masih mempertanyakan kejelasan nasib mereka menjadi dibutuhkan, di tengah permasalahan lumpur lapindo yang masih belum mencapai titik terang.

3. Masyarakat Terdampak Masih Belum Pulih

Kehidupan dari korban lumpur Lapindo masih belum normal. Masih ada warga yang sebelumnnya bekerja sebagai buruh pabrik harus kehilangan pekerjaan, dan pekerjaan sampingannya yakni membuka warung di rumahnya harus terhenti pasca rumahnya terendam lumpur.

Sektor pekerjaan lain sejatinya muncul pasca peristiwa lumpur Lapindo, menjadi tukang ojek di sekitar area luapan lumpur Lapindo, atau istilah “tukang ojek lumpur” namun pekerjaan ini, sudah sepi wisatawan yang datang, setelah sebelumnya saat lebaran biasanya menjadi panen dari tukang ojek lumpur.

Kehidupan dari para korban lumpur Lapindo masih belum normal kembali. Banyak yang tak berdaya, dikarenakan hilangnya pekerjaan masyarakat akibat luapan lumpur.

4. Pemkab Sidoarjo akan Mengembangkan Geopark

Pemkab Sidoarjo juga berniat untuk merubah kawasan lumpur Sidoarjo menjadi Geopark. Memberikan insentif dan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modal usahanya di lahan bekas lumpur  tersebut. 

Rencana untuk perubahan besar – besaran kawasan lumpur Sidoarjo, menjadi Taman Bumi (geopark) telah lama di rencanakan sejak 2017 lalu, dengan BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) yang melaporkan langsung kepada Presiden, telah membeli aset lumpur seluas 369 hektar, yang akan dikelola oleh Pemkab Sidoarjo.

Rencana perubahan wilayah lumpur menjadi Taman Bumi (geopark) akan dilakukan pada tahun 2020 ini. Kawasan geopark akan menjadi kawasan wisata yang resmi, dan wisatawan akan berbondong – bondong datang ke wilayah ini, setelah sebelumnya hanya datang sporadis dikarenakan pengelolaan yang masih belum maksimal.

Upaya yang dilakukan Pemkab Sidoarjo adalah pengelolaan wilayah bekas lumpur untuk mengembalikan kembali pendapatan di sektor tersier, atau pendapatan di sektor jasa (40.71 %) dan pariwisata yang sebelumnya menjadi mata pencaharian penduduk terbesar kedua setelah pekerjaan pabrik [53,72%].

 

Tag:


Terkait